Tragedi
Bubur Kacang Hijau
“Tin....tin...tin....
Terdengar suara klakson
motor di depan rumahku “Ibu... Pak Le datang !!! dengan gembira aku pun berlari
untuk membuka pintu. Telah sekian lama semenjak Pak Le, adik bungsu ayahku
pergi dari Pangkalan Bun untuk merantau ke Sukamara, kami pun bisa bertemu kembali dengan Pak Le
hari ini. Aku pun sangat senang sekali, karena Pak Le datang membawa oleh-oleh
khas Sukamara, kesukaanku ,Amplang.
“Pebti pijetin Pak Le
bah, capek Pak Le nih” kata Pak Le
Saking asiknya membuka
oleh-oleh dari Pak Le aku pun tidak mendengar ucapan Pak Le.
“Peb... cepet am,
pijetin Pak Le bah” kata Pak Le kembali memanggil
“Ah apa? Iya,iya
bentar”
Aku
pun langsung meletakkan oleh-oleh dari Pak Le ke meja dan langsung bergegas
menuruti perintah Pak Le. Karena sudah lama tidak bertemu, aku pun bercerita
banyak kepada Pak Le mulai dari sekolah, PR, teman-teman, mengaji dan masih
banyak lagi. Tak terasa hari pun beranjak sore, tadinya aku ingin mengajak Pak
Le jalan-jalan, tapi berhubung Pak Le masih capek, aku pun menurut dan tak jadi
merengek padanya. Keesokan harinya, aku pun berusaha untuk membujuk Pak Le
pergi jalan-jalan, namun kali ini Pak Le juga tidak bisa. Pak Le disuruh ayah
untuk membantu membangun rumah baru di Gang Banteng, aku pun hanya menunduk pasrah,
mungkin lain kali aku bisa pergi jalan-jalan bersama Pak Le. Akhirnya aku
memutuskan untuk ikut bersama Pak Le dan ayah ke rumah baru di Gang Banteng.
Walaupun aku tahu, disana pasti akan sangat membosankan. Sebenarnya di rumah
baruku itu, aku sudah memiliki satu teman, namanya Putri, umurnya di bawah satu
tahun dariku. Rumah kami bersebelahan, namun dia lebih dulu pindah kerumah
barunya. Jika aku datang, kami selalu main bersama, namun terkadang, kami juga
jarang bertemu karena setiap sore Putri juga harus mengaji. Aku juga mengaji
sama seperti Putri, tapi tempat kami mengaji berbeda, jamnya pun berbeda, aku
mengaji di TPA di dekat Bundaran Pancasila sehabis Zuhur.
Seperti biasanya ayahku mengantarkan aku pergi mengaji,
namun kali ini ayah juga membawa serta Pak Le untuk membantu membangun rumah.
Rencananya Pak Le datang ke Pangkalan Bun memang untuk berlibur, namun karena harus
memenuhi kemauan dari ayahku kakak sulungnya, dia akhirnya tidak bisa membantah
dan ikut membantu ayahku membangun rumah.
“ Pak Le kok ikut Pak?”
tanyaku
“ Ya.. gak papa toh,
biar Pak Le bantu bangun rumah, biar rumahnya cepet jadi, terus bisa di
tinggali “ jawab ayahku enteng.
“ Tapi kan kasian Pak
Le, Pak Le kesini kan mau liburan, malah disuruh kerja sama ayah, huuu...Pebti
jadi gak bisa jalan-jalan lok sama Pak Le” kataku ketus
“ ishhh cepet am, nanti
telat ngajinya” kata ayahku dengan
jengkel
Dengan kesal aku pun
menaiki sepeda motor ayahku. Sejujurnya aku sangat kesal sekali, aku sangat
ingin jalan-jalan sama Pak Le tapi ayahku selalu saja menyuruh Pak Le ini, itu,
menjengkelkan. Setibanya di TPA, aku masih saja jengkel, kapan aku bisa
berjalan-jlan dengan Pak Le ya?
“ Pebti kenapa?” tanya
temanku Mia
“ gak papa” jawabku
datar
“ kok cemberut”
“ ayahku tuh,
jengekelin, mosok aku mau jalan-jalan sama Pak Le gak boleh !” jawabku kesal
“ ohhh.... Pak Le yang
mana? “ tanya Mia penasaran
“ ada adik bapakku yang
paling kecil “ jawabku
“ ya sudah daripada cemberut
gitu, mending kita jajan yuk, kamu bawa sangu kan?” ajak Mia
“ bawa, ya udah deh”
aku pun menurut
Daripada
aku terus diem gak jelas, mending aku ikut beli jajan sama Mia, itung-itung
buat ngenyangin perut. Sorenya sehabis aku mengaji, aku sangat bosan sekali,
karena lama sekali aku dijemput ayah, teman-teman ngajiku ku pun mengajak aku
untuk jalan bareng, yah siapa tau aja, nanti ketemu ayah di jalan. Namun
sesampainya di ujung gang TPA ayahku juga belum keliatan, aku pun sudah mulai
kesal bercampur gelisah. Terpaksa akupun ikut temanku-temanku terus berjalan hingga
ke pinggir jalan raya, namun setelah lama kami berjalan, ayahku juga belum
keliatan sedikitpun batang hidungnya, aku pun semakin bertambah kesal, ditambah
lagi dengan jumlah rombongan teman-temanku yang semakin sedikit karena mereka
sudah sampai kerumahnya. Hari pun juga semakin sore, aku pun mulai gelisah dan
takut kalau-kalau ayahku tidak bisa menjemputku karena sibuk dengan rumah baru
kami. Akhirnya ayahku pun datang juga
“ ayah tuh kemana aja,
capek Pebti jalan kaki, temennya juga tinggal dikit” kataku kesal
Aku pun terus mengomel
sepanjang perjalanan namun ayahku hanya diam saja.
Keesokan harinya, seperti biasa aku pergi ke sekolah dan
berangkat mengaji. Namun di hari itu, aku mengaji tidak diantar ayah melainkan
dengan Pak Le, aku sangat senang sekali, karena akhirnya bisa berjalan-jalan
dengan Pak Le walaupun hanya pergi mengaji. Tapi, sebenarnya aku kasian dengan
Pak Le dari pagi ia membantu membersihkan rumah, karena ibu sedang membuat
bubur kacang hijau untuk makanan para tukang dirumah baruku. Wajah Pak Le
sangat kuyu sekali, dia terpaksa harus dibangunkan dari tidur siangnya oleh ayahku
karena harus mengantarku, tapi mau gimana lagi, kalau bukan Pak Le siapa yang
mau mengantarku, ibuku tidak bisa
mengendarai sepeda motor, ayah juga sudah pergi entah kemana.
“ Ndok, itu ada bubur
kacang hijau, Pak Le udah ibu suruh nganterin kerumah baru buat tukang,
hati-hati bawanya” kata ibuku
“iya bu, Pebti pamit
dulu ya bu Assalamualikum”
“Waalaikum salam “
Kami
pun akhirnya berangkat, namun dihatiku masih ada rasa kasian dengan Pak Le,
firasat buruk pun menghantui pikiranku ,yah mudah-mudahan tidak terjadi-terjadi
apa-apa nanti dijalan. Di perjalanan aku
melihat dari kaca spion Pak Le berkali-kali menguap, aku semakin kasian dengan
Pak Le, jam tidur siangnya harus tertunda gara-gara aku. Sampai akhirnya,
kejadian naas itu pun terjadi, aku merasa kemudi Pak Le sudah tak seimbang
lagi, motor yang kami tumpangi sudah oleng kesana kemari, Pak Le pun berusaha
mengendalikan motor seperti semula, tapi mungkin karena keadaannya yang masih
mengantuk, dia pun akhirnya tidak bisa mengendalikan sepeda motor lagi, motor
yang kami tumpangi pun akhirnya oleng dan karena Pak Le salah menginjak pedal
rem, motor pun akhirnya terjungkal ke belakang, aku dan Pak Le pun akhirnya
terpental ke jalan sekitar 5 meter dari sepeda motor, untungnya pada saat itu
keadaan jalan sepi, maklum jalan menuju Bandara Lanud Iskandar memang selalu
sepi, namun itulah yang Pak Le khawatirkan tidak ada orang yang bisa dimintai
pertolongan, tidak ada satupun kendaraan yang melewati jalan pada saat itu. Aku
pun berusaha untuk bangun namun seketika aku terkejut ketika melihat jilbab dan
lengan bajuku yang sebelah kiri sudah berlumuran darah, namun sepertinya Pak Le
yang lebih parah, tangan sebelah kirinya sudah tidak bisa digerakkan lagi aku
pun mendekatinya dan meraih ponselnya untuk menelpon ayahku . Namun, sudah beberapa
kali aku coba hubungi tetapi tidak dijawab juga. Aku pun mulai panik, kerudungku
juga sudah penuh dengan darah, Pak Le juga meringis kesakitan ditangannya.
Sampai akhirnya ada seorang pengendara kijang merah di jalur seberang berhenti
ketika melihat kami, kami pun segera dibawa ke Puskesmas TNI AU disekitar
daerah itu, untuk mendapatkan pertolongan. Motor yang kami tumpangi tadi pun
juga dibawa warga lain yang membantu, dari dalam mobil, aku melihat tumpahan bubur
kacang hijau yang seharusnya kami antarkan kepada tukang tadinya, jadi
berserakan dijalanan, aku pun sempat berpikir jika ibu atau ayah tidak menyuruh
Pak Le mengantarkan itu, kami mungkin tidak seperti ini.
Sesampainya
di Puskesmas kami pun langsung di tolong oleh perawat dan petugas puskesmas
yang berada disitu. Pak Le dibawa ke ruang yang berbeda denganku, saat aku tiba
di ruangan perawatan lukaku langsung dibersihkan dan diobati. Saat itu juga aku
mendengar jeritan Pak Le yang sedang kesakitan, aku tidak tahu apa yang terjadi
dengan tangan Pak Le, aku pun berdoa mudah-mudahan tidak ada yang terjadi
dengan Pak Le. Beberapa saat kemudian, ibu dan ayahku datang menemui kami, aku
tidak tahu siapa yang memberitahu
mereka, dengan cepat mereka datang ke puskesmas karena letak puskesmas yang
dekat dengan rumah kami. Karena luka Pak Le yang cukup parah dan karena
keaadaanku yang mulai melemas, kami pun dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah
untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Sesampainya disana, kami langsung
dibawa ke UGD, namun lagi-lagi Pak Le dibawa ke ruangan yang berbeda denganku,
aku pun mulai cemas, sebenarnya apa yang terjadi dengan Pak Le, tak terasa
airmata pun jatuh ke pipiku.
“Pebti jangan nangis”
ujar ibuku lembut
“ Pak le kenapa bu.?.”
tanyaku setengah terisak
Tangisku pun semakin
menjadi, perawat yang berada disekitarku pun ikut menenangkanku. Jilbab yang
tadi kupakai pun sudah dilepas. Beberapa saat kemudian, Pak Le pun keluar, kakinya
tidak ada masalah, dia bisa berjalan dengan baik, namun tidak dengan tangannya,
tangannya sudah terbalut dengan perban dan digendong.
“ ah luka kayak gitu
aja nangis, cengeng” ejek Pak Le
“tangan Pak Le
kenapa?”aku pun bertanya dengan ragu
“ tangan Pak Le
tulangnya patah” jawab ibuku dengan terpaksa jujur, karena tahu aku bukanlah
anak yang bisa dibohongi.
“ mau liat kah nih”
kata Pak Le sambil memperlihatkan tangannya
“kok gak keliatan yang
patah?” tanyaku polos
“ya iya lah ndok
tulangnya kan didalam dibungkus kulit, yah gak keliatan lah patahnya” jawab
ibuku sambil tertawa kecil.
Kami pun akhirnya diperbolehkan
untuk dibawa pulang, namun melihat kondisi Pak Le ia jadi tidak bisa melakukan
kegiatannya sendiri, semuanya harus dibantu oleh orang lain, kasian Pak Le
ujarku dalam hati. Sesampainya dirumah, aku masih saja tidak percaya kalau
tangan Pak Le tulangnya patah, akhirnya ibuku meyerahkan hasil rongsen tangan
Pak Le kepadaku dan menjelaskannya, aku pun mengerti, aku jadi merasa bersalah,
kenapa bukan tanganku yang patah, gimana Pak Le nanti kerja kalau tangannya
patah? Sesalku. Malamnya, saudara-saudara kami pun menjenguk kami dirumah,
karena kondisi Pak Le yang belum sehat, ayahku pun menceritakan kronologis kejadiannya,
aku pun juga berusaha untuk menguping karena ingin tahu. Rupanya, pada waktu
itu, ayahku tidak bisa mengantarku mengaji karena harus menolong komandan TNI
AU untuk mencari harta karun atau entahlah apa itu di sekitar rumahku, Komandan
itu percaya dengan mimpinya bahwa ada sebuah batu akik atau semacam harta karun
di sekitar rumahku, dia meminta tolong ayahku untuk mencarinya, ibuku pun juga
baru tahu tentang tindakan ayahku yang mau saja mengikuti perintah komandan itu
dan malah membawa petaka padaku. Kami pun sangat kesal terutama ayahku, jika
dia tidak mencari harta karun atau semacamnya mungkin tidak akan seperti ini,
ibuku juga, dia sangat menyesal telah menyuruh Pak Le untuk mengantarkan bubur
kacang hijau itu ke tukang dirumah baruku, dia seharusnya mengerti kalau Pak Le
sangat capek. Tapi semuanya sudah terjadi, bagaimanapun penyesalannya dan
siapapun yang salah, sebaiknya kita ambil saja hikmahnya dan jangan sampai terulang
lagi.