Selasa, 20 Agustus 2019

I'M BACK


SEPENGGAL KISAH DI KOTA MANIS
Namaku Lutfi, aku adalah siswa SMA di Pangkalan Bun, Kalteng. Sekilas Pangkalan Bun mungkin terdengar asing di telinga. Tidak seperti kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, Surabaya yang banyak terdapat di pulau jawa. Awalnya aku menganggap Pangkalan Bun seperti kota kecil yang tidak sekeren Malang, kota kelahiranku. Tapi itu setahun yang lalu, saat aku pertama kali menginjakkan kaki di Kota Manis, sampai akhirnya , aku menemukan sisi manis dari kota ini yang tidak akan pernah ditemukan di kota manapun.
Tanggal 8 Agustus 2017, ceritaku pun dimulai. Hari pertama aku disekolah terlihat membosankan, aku belum bisa berbaur dengan teman-teman yang lain. Entah karena aku takut atau mereka yang sungkan mengajakku untuk sekedar mengobrol. Sampai pada akhirnya teman sebangkuku, Eca yang sejak bel istirahat berbunyi tidak kelihatan batang hidungnya, dengan keringat di sepanjang pelipisnya berjalan lemas ke arah tempat duduknya. Wajahnya agak sedikit pucat, nampaknya perutnya juga kesakitan. Dengan ragu-ragu aku bertanya
“Kamu kenapa?”
Eca masih meringis menahan sakit diperutnya tanpa melihat aku yang ada disampingnya. Aku pun dengan berani memegang pundaknya
“ Sial banarr !!!”
Seketika aku pun langsung kaget mendengar terikannya
“ Ini nih, gegara makan nasi goreng umak, nih pedas banar, tetimbul mencret, untung kada tekeluar di celana”
Aku yang mendengarnya pun langsung tersenyum sembari menahan tawa.
“ Sabar ja lah punya kawal aku nih, suka aneh aneh gawiannnya”
 “ Ikam duduk, disini lah , aku duduk pojok, sakit banar perutku, malas aku belajar”
Melihat keadaannya, aku tidak tega untuk menolak. Aku pun mengangguk dan mengiyakan permintaannya.
 “Tutupin aku, kena istirahat kedua kam ku traktir pentol”
Aku pun tersenyum mendengarnya. Ternyata Eca tidak seperti yang ku kira, dia anak yang humoris dan juga baik hati. Seperti janjinya Eca yang sudah kembali pulih langsung  mengajakku ke kantin dan membeli pentol. Eca anak yang menyenangkan, dia pandai bercerita dan melucu. Eca juga cantik, putih, dan suaranya serek-serek basah gitu. Sejak peristiwa traktiran pentol itu, aku semakin akrab dengan Eca. Selain itu, kami juga teman sebangku, jadi aku lebih sering mengobrol dengan Eca dibanding dengan yang lainnya. Sesekali aku juga mengobrol dengan teman yang lain, walau hanya sekedar basa basi atau membahas soal pelajaran. Teman sekelasku ternyata asyik, mereka juga pandai melucu, ya walalupun sebagian lelucon mereka ada yang tidak aku mengerti. Dari hari ke hari aku pun mulai mengenal teman-teman sekelasku dan mulai akrab dengan mereka. Tak terasa sudah sebulan aku tinggal di Pangkalan Bun. Teman-temanku juga semakin banyak, selain Eca aku juga mulai akrab dengan Dhea, Deli, dan Nyken. Aku mulai akrab dengan mereka semenjak aku bercerita bahwa aku seorang penari di Malang. Aku mengikuti sanggar Tari yang ada di Malang dan mengikuti berbagai macam festival serta lomba. Aku juga sering tampil di acara-acara formal dan nonformal yang sering diselenggarakan oleh instansi atau event-event besar di Malang. Penghargaan-penghargaan yang aku peroleh juga cukup banyak, mulai dari tingkat sekolah hingga tingkat provinsi. Mendengar aku bisa menari dan prestasi-prestasi yang aku peroleh, bagaikan mimpi disiang bolong Eca, Deli, Dhea dan Nyken kemudian mengajakku untuk bergabung ekstrakurikluer tari tradisonal yang mereka geluti. Sontak aku pun bingung harus menerima atau menolaknya, dalam hatiku aku ingin bisa menari lagi tapi aku juga bingung, aku tidak bisa menari tarian khas Kalimantan. Dengan berat hati aku menolak ajakan mereka. Ada sedikit rasa menyesal saat ada kesempatan di depan mataku tapi tidak aku ambil. Sudahlah mungkin belum saatnya.
Selama aku di Pangkalan Bun, akhir pekan selalu kuhabiskan di rumah dan bersih-bersih. Sebenarnya aku ingin sekali berjalan-jalan tapi saat melihat panasnya di luar rumah aku enggan untuk berjalan-jalan. Keluar rumah saja kalau tidak disuruh ibu membeli sesuatu ke warung aku tidak akan keluar rumah. Walaupun sudah sebulan di Pangkalan Bun aku belum bisa beradaptasi dengan cuaca disini yang panas sekali menurutku, tidak seperti di Malang saat di siang hari walaupun matahari lagi terik teriknya udaranya masih sejuk karena Malang diapit oleh beberapa pegunungan seperti Gunung Kelud dan Gunung Kawi. Malang itu Kota yag keren sekali, banyak tempat wisata yang sudah terkenal ke seluruh dunia seperti Jatim park 1,2 ,3 , Museum angkut, Batu Night Spectaculer, Coban Rondo, Batu Flower Garden dan masih banyak lagi. Malang juga merupakan kota pendidikan dengan banyak perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang bergengsi seperti salah satunya Universitas Brawaijaya yang masuk 10 Universitas terbaik di Indonesia. Malang juga memiliki sumber daya alamnya yang melimpah seperti apel Malang yang sudah menjadi maskot kota Malang. Aku bangga lahir dan besar di Kota Malang, seakan Kota Malang merupakan tempat paling bersejarah dalam hidupku dengan semua tempat indah dan kenangan yang ada. Tapi sekarang, aku harus berada disini di tempat yang masih asing bagiku. Saat aku teringat Kota Malang ingin rasanya aku kembali kesana. Sulit rasanya aku harus menerima bahwa aku tinggal di Pangkalan Bun, kota kecil dengan segala hal yang tidak aku mengerti disini. Ingin rasanya aku menangis dan kembali ke Malang saja, aku sungguh tidak betah disini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa ayahku yang seorang tentara harus dipindah tugaskan ke Kalimantan, mau tak mau aku, ibu dan, adikku harus ikut bersama ayah. Hingga akhirnya, dilibur akhir pekan bulan September, Eca dan kawan-kawan mengajakku jalan berkeliling Pangkalan Bun. Mana mungkin bisa ku tolak, aku dengan semangat ikut bersama mereka. Minggu pagi aku sudah bersiap-siap dan menanti Eca untuk menjemputku. Setelah Eca datang kami pun langsung menuju Istana Kuning, salah satu ikon Kota Pangkalan Bun yang pertama kali aku kunjungi. Deli, Dhea ,dan Nyken juga sudah ada disana. Hal yang pertama terbelesit di pikiranku adalah Istana Kuning adalah sebuah istana kerajaan yang bewarna kuning, tapi itu salah besar. Istana Kuning sama sekali tidak dicat bewarna kuning, tempat tersebut hanyalah bangunan seperti rumah panggung kayu. Dulunya bangunan Istana Kuning tidak seperti ini, karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab Istana Kuning terbakar dan kemudian dibangun kembali. Istana tersebut disebut sebagai Istana Kuning karena warna kuning merupakan warna yang sakral digunakan oleh Kesultanan Kotawaringin pada zaman dahulu. Aku juga baru mengetahui bahwa nama Kotawaringin merupakan nama Kesultanan yang ada di Pangkalan Bun. Ternyata tidak hanya di pulau Jawa saja yang banyak terdapat kesultanan dan kerajaan, di Pangkalan Bun pun terdapat kesultanan. Setelah melihat-lihat Istana Kuning yang begitu menakjubkan, di dalam Istana Kuning juga terdapat benda-benda pusaka, foto-foto dan lukisan-lukisan anggota kesultanan dan sultan-sultan yang pernah memerintah kesultanan Kutaringin. Dari luar Istana Kuning terdapat pohon kelapa dan pohon beringin yang batangnya menjadi satu. Aku pun takjub dengan peninggalan budaya yang dimiliki Kesultanan Kotawaringin, aku pun menjadi tahu bahwa Kesultanan Kotawaringin duluya juga merupakan kerajaan yang besar. Istana Kuning juga terlihat menakjubkan dengan letaknya yang berada di atas bukit, sehingga apabila kita berada di Istana Kuning kita dapat memandang Kota Pangkalan Bun dari atas dan juga sungai Arut. Benar-benar indah sekali pemandangannya. Di bawah bukit terdapat taman yang juga tak kalah cantik, taman tersebut disebut dengan Lapangan Tugu Istana Kuning, karena terdapat tugu lambang Kesultanan Kotawaringin. Puas rasanya saat aku melihat Kota Pangkalan Bun dari atas bukit ini. Setelah puas melihat-lihat keindahan Istana Kuning, aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke Istana Mangkubumi, yang merupakan istana sama seperti Istana Kuning, tetapi bedanya disini terdapat pemandian yang konon katanya pada zaman dahulu digunakan sebagai pemandian para putri kerajaan. Selain itu, di Istana Mangkubumi teradapat perabotan pada zaman kerajaan yang masih asli dan masih terawat. Setelah puas melihat-lihat isi dari Istana Mangkubumi, aku pun diajak mereka untuk mengitari sungai Arut dengan menggunakan kelotok atau biasa orang Pangkalan Bun menyebutnya Getek. Seru juga ternyata mengitari sungai Arut yang luas sekali, aku juga baru tahu kalau sungai-sungai yang ada di Kalimantan itu airnya bewarna coklat seperti teh, berbeda sekali dengan sungai yang ada di Jawa bewarna jernih. Setelah cukup puas berkeliling Kota Pangkalan Bun, aku dan teman-temanku memutuskan untuk pulang kerumah. Mengingat hari sudah mulai siang dan hari makin panas, mereka saja yang sudah bertahun-tahun tinggal di Pangkalan Bun, masih tidak tahan dengan panasnya disini apalagi aku yang baru sebulan tinggal disini.
Semenjak hari itu, setiap akhir pekan aku dan teman-temanku menyempatkan diri untuk berjalan-jalan ke tenpat-tempat ikonic yang ada di Pangkalan Bun mulai dari Rumah Betang, Pantai Kubu, Tanjung Keluang, Monumen Palagan Sambi, serta Taman Nasional Tanjung Puting yang sudah mendunia itu. Awalnya aku tidak menyangka bahwa ada tempat sekeren TNTP di kota kecil ini. Di tempat ini aku mengakui bahwa Hutan Hujan Tropis Indonesia memang sangat menakjubkan. Di tempat ini juga pertama kalinya aku melihat spesies primata yang sangat terkenal Orangutan dari dekat. Sebagai generasi muda kita hendaknya bisa menjaga kelestraian alam dan mempromosikannya kepada dunia bahwa alam Indonesia itu keren dan tidak akan kita temukan di negara lain, hanya milik Indonesia dan hanya ada di Indonesia.
Tak terasa semester satu pun akan segera berakhir. Ibu Nuning  guru Muatan Lokal di sekolahku memberikan tugas akhir kepada kami, yaitu menari. Menari memang bukan persoalan yang sulit bagiku tapi masalahnya adalah tarian yang diujikan adalah tarian khas dari Kalimantan. Tarian khas Kalimantan begitu sulit menurutku, gerakannya sangat rumit dan cepat. Aku tidak yakin bisa menghafalkan semua gerakan dalam waktu satu bulan, melihatnya saja aku sudah pusing, apalagi melakukannya. Tapi apa boleh buat, semua siswa mau tidak mau, bisa tidak bisa harus bisa, ini demi nilai ujian. Setidaknya bisa mendapatkan nilai pas standar sudah bersyukur, daripada tidak mendapatkan nilai.
Kelompok pun sudah dibagi, untungnya aku sekelompok dengan Eca dan Deli yang paham betul soal tari menari, mereka kan anak sanggar. Sore harinya, kami pun langsung latihan. Kami sudah menjadwalkan setiap hari kamis sampai minggu untuk latihan. Berkat bantuan dari Eca, kami pun diperbolehkan untuk memakai ruang sanggar, tapi syaratnya kami harus menyapunya setiap selesai dipakai, gak papa lah daripada gak ada tempat. Hari pertama latihan aku dan teman-teman yang lain masih agak kagok dengan gerakan yang diajarkan oleh Eca dan Deli selaku mentor, tapi harus bisa, ini kerja sama kelompok, semua harus bisa, biar kompak. Awalnya memang sangat sulit, untungnya Eca dan Deli masih sabar, jadi aku dan teman-teman yang lain mulai bisa melakukan sedikit demi sedikit gerakannya. Gerakan yang diajarkan juga tidak terlalu sulit, karena masih bagian pembuka. Walaupun baru melakukan koreo pembuka saja sudah banyak sekali gerakannya, kami pun memutuskan untuk pulang dan beristirahat, besok juga harus sekolah lagi.
Begitulah keseharian kami setiap sore di sekolah, latihan, latihan dan latihan. Gerakan yang kami pelajari juga semakin sulit, sehingga membuat Eca dan Deli juga semakin frustasi untuk mengajari kami, mereka mulai emosi dan sering marah-marah setiap kami latihan. Aku yang melihat sikap mereka, juga merasa agak kesal, kan maklum kami bukan penari seperti mereka yang bisa dengan cepat menghafal gerakan, kami butuh proses. Dan akhirnya  insiden itupun terjadi
“Sidakam tuh mosok kek gitu aja gak bisa, munyak aku ngajarin sidakam tuh, udah gak bisa cengengesan lagi, gak usaham  kita tampil !”
“Oke ! Kita gak usah tampil, gak usah dapat nilai selesai kan, besok dan seterusnya gak usah aja latihan ! ujarku sambil mengambil tas dan keluar ruangan.
Entah apa yang aku ucapkan saat itu, semuanya keluar dari mulutku begitu saja. Aku begitu kesal dengan kelompoku sendiri, Eca dan Deli sudah marah-marah, teman-temanku yang cowok juga begitu, bukannya serius malah bercanda dan main-main saja taunya. Ingin rasanya aku menangis, tidak ada gunanya latihan selama ini, kalau akhirnya kelompok kami tidak kompak dan malah egois. Sesampainya aku dirumah, dengan mataku yang sembab, langsung masuk ke kamar dan mengurung diri. Ibu dan Ayah saat itu tidak ada dirumah, sehingga mereka tidak tahu kekesalan yang aku alami. Ingin rasanya aku berteriak dan memohon kepada ayah untuk bisa kembali ke Malang, bertemu dengan teman-temanku disana dan menceritakan semuanya, aku benar-benar tidak betah disini.
Esok harinya sehari setelah insiden itu, benar dugaanku aku, Deli dan Eca sama sekali tidak bertegur sapa, jangankan bertegur sapa, menoleh satu sama lain saja tidak. Jujur, aku masih kesal dengan mereka, akhirnya aku tahu sifat mereka, mereka sangat sok sekali, mentang-mentang mereka penari dan terkenal seantero sekolah. Selama jam pelajaran aku dan Eca tidak berbicara sepatah kata pun, Eca juga lebih sering mengobrol dengan Hafiz yang ada di depan bangku kami. Sampai jam pelajaran selesai, situasi pun tetep sama, dengan kesal aku pun langsung bangkit dari tempat duduk dan langsung pergi meninggalkan Eca.
“Fi, buku kam ketinggalan di laci” ujar Eca membuat aku kaget dan langsung balik ke bangkuku.
“ Makasih” jawabku dengan jutek
“ Ntar sore, ikut gak latihan, masih marah kah sama aku, maaf lah” ujar Eca sambil melirik
Aku terkejut, mendengar Eca meminta maaf padaku. Aku mungkin terlalu dini menyimpulkan sikap mereka, sebenarnya mereka sama sekali tidak ada niatan untuk bermusuhan denganku, mereka memang marah saat itu, tapi bukan berarti mereka tidak mau mengajari kami, mereka hanya menganggap kejadian itu hanya angin lalu, dan tidak perli dipermasalahkan.
Akhirnya kami pun kembali berlatih, capek memang, kurang dari seminngu kami akan tampil di depan Ibu Nuning untuk pengambilan nilai ujian akhir. Demi nilai yang memuaskan kami harus  kerja sama dan tetap kompak. Sampai pada hari H, seluruh siswa di kelasku sibuk mengganti kostum dan dandan seadanya agar bisa tampil maksimal di depan Ibu. Aku pun mulai deg degan karena ini pertama kalinya aku menari setelah sekian lama aku tidak menari, tarian yang aku lakukan juga bukan tarian Jawa melainkan tarian khas Kalimantan yang baru sebulan aku pelajari. Entah apapun hasilnya mudah-mudahan yang terbaik untuk kelompok kami. Setelah kelompok satu tampil, ternyata undian berikutnya kelompok aku yang tampil. Aku pun menarik nafas dan tidak lupa kami pun berdoa, agar penampilan kami diberi kelancaran. Saat kami berada di depan Ibu dan teman-teman sekelasku entah mengapa aku merasa ada kepercayaan diri yang besar sedang mendorongku. Ingin rasanya aku bilang kepada teman-temanku di Malang bahwa sekarang aku bisa menari lagi, tarian khas Kalimantan yang belum pernah aku coba sebelumnya. Saat musik dimainkan, aku semakin percaya diri dan bersemangat, Eca dan Deli untuk tersenyum ke arahku untuk  memberiku semangat, begitu juga dengan teman-temanku yang cowok, mereka semangat sekali teriak-teriaknya. Semua gerakan yang aku hafalkan aku lakukan dengan mulus tanpa salah sedikitpun. Dari kepala hingga kaki seakan bekerja sama membantuku untuk menciptakan gerakan yang indah hingga akhirnya tak terasa musik pun berakhir dan kami pun menutupnya dengan gerakn penutup yang sempurna. Aku sangat senang sekali saat Ibu dan seluruh teman-teman sekelasku bertepuk tangan untuk kami. Padahal kami hanya tampil di aula dan ditonton dengan teman sendiri, tetapi aku merasa seperti tampil di balai kota Malang dan ditonton oleh ribuan orang. Senang sekali rasanya, tarian kami berjalan dengan lancar dan sukses. Setelah semua kelompok tampil Ibu Nuning pun langsung mengumumkan kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi dan ternyata kelompokku yang mendapatkannya, aku sangat bahagia sekali dan satu lagi yang membuat kebahagiaanku bertambah berkali-kali lipat yaitu
“Lutfi, kamu masuk sanggar ya, kalo ditanya, disuruh Bu Nuning gitu “
Aku seakan tidak percaya apa yang dikatakan Bu Nuning barusan, seperti mimpi rasanya, mendapatkan kesempatan untuk bisa menari lagi. Bayangkan saja, semua siswa  yang ingin ikut dalam sanggar sekolah harus diseleksi ketat dan benar-benar harus bisa menari. Sedangkan aku, aku dengan mudah masuk sanggar dan langsung direkrut oleh koordinatornya langsung. Suara hatiku berkali-kali mengucap  untuk ambil ambil kesempatan itu Lutfi, ambil.
“ Kamu mau lok, awas kalo gak mau “ ujar Bu Nuning seakan mengunci untuk tak menolak tawarannya.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan tawarannya dan beragbung dengan sanggar tari sekolahku. Aku tidak tahu bagaimana aku harus berterimakasih kepada Eca dan Deli yang telah mengajariku selama ini. Aku hanya bisa memeluk mereka dengan erat karena telah memberiku kesempatan untuk  kembali mengasah bakatku. Aku berjanji akan berlatih dan berusaha untuk bisa membawa sanggar sekolahku untuk juara dan tampil di event-event besar. Setelah ujian semester, aku langsung sibuk berlatih di sanggar, Eca dan Deli juga sibuk mempersiapkan para junior yang akan ikut serta dalam lomba tingkat sekolah yang sebentar lagi akan kami ikuti. Seperti saat aku di Malang, aku pun berlatih dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi timku agar bisa tampil maksimal diajang manapun. Gerakan demi gerakan aku pelajari, selain itu nilai-nilai filosofis serta pesan-pesan yang tersirat dalam setiap gerakan yang aku lakukan juga aku pahami. Aku juga baru tahu bahwa tarian khas Kalimantan juga memiliki nilai filosofis yang mendalam serta sarat akan ekstetika. Terlebih pesan-pesan yang ada dalam tarian juga penuh makna seperti gotong royong, perjuangan, dan kisah-kisah teladan. Kali ini aku sangat bangga dengan budaya yang ada di Kalimantan, aku juga bangga bisa terlibat dalam pelestarian budaya Kalimantan, khususnya tarian daerah. Usaha dan kerja keras kami pun akhirnya membuahkan hasil, kami berhasil keluar sebagai juara satu lomba tari tradisional tingkat sekolah. Semenjak event pertamaku bersama sanggar tari disekolahku, aku dan anak-anak sanggar lainnya sering tampil dalam event-event besar di Pangkalan Bun, dan daerah-daerah lainnya, kami juga sering menjuarai lomba baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Sekali lagi aku bangga menjadi warga Kalimantan, pulau dengan beragam budaya dan bahasa yang hidup damai dengan kekayaan alamnya yang eksotis.