SEPENGGAL KISAH DI
KOTA MANIS
Namaku
Lutfi, aku adalah siswa SMA di Pangkalan Bun, Kalteng. Sekilas Pangkalan Bun
mungkin terdengar asing di telinga. Tidak seperti kota-kota besar lainnya
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya yang banyak terdapat di pulau jawa. Awalnya
aku menganggap Pangkalan Bun seperti kota kecil yang tidak sekeren Malang, kota
kelahiranku. Tapi itu setahun yang lalu, saat aku pertama kali menginjakkan
kaki di Kota Manis, sampai akhirnya , aku menemukan sisi manis dari kota ini
yang tidak akan pernah ditemukan di kota manapun.
Tanggal
8 Agustus 2017, ceritaku pun dimulai. Hari pertama aku disekolah terlihat
membosankan, aku belum bisa berbaur dengan teman-teman yang lain. Entah karena
aku takut atau mereka yang sungkan mengajakku untuk sekedar mengobrol. Sampai
pada akhirnya teman sebangkuku, Eca yang sejak bel istirahat berbunyi tidak
kelihatan batang hidungnya, dengan keringat di sepanjang pelipisnya berjalan
lemas ke arah tempat duduknya. Wajahnya agak sedikit pucat, nampaknya perutnya
juga kesakitan. Dengan ragu-ragu aku bertanya
“Kamu
kenapa?”
Eca
masih meringis menahan sakit diperutnya tanpa melihat aku yang ada
disampingnya. Aku pun dengan berani memegang pundaknya
“
Sial banarr !!!”
Seketika
aku pun langsung kaget mendengar terikannya
“
Ini nih, gegara makan nasi goreng umak, nih pedas banar, tetimbul mencret,
untung kada tekeluar di celana”
Aku
yang mendengarnya pun langsung tersenyum sembari menahan tawa.
“
Sabar ja lah punya kawal aku nih, suka aneh aneh gawiannnya”
“ Ikam duduk, disini lah , aku duduk pojok,
sakit banar perutku, malas aku belajar”
Melihat
keadaannya, aku tidak tega untuk menolak. Aku pun mengangguk dan mengiyakan
permintaannya.
“Tutupin aku, kena istirahat kedua kam ku
traktir pentol”
Aku
pun tersenyum mendengarnya. Ternyata Eca tidak seperti yang ku kira, dia anak
yang humoris dan juga baik hati. Seperti janjinya Eca yang sudah kembali pulih
langsung mengajakku ke kantin dan
membeli pentol. Eca anak yang menyenangkan, dia pandai bercerita dan melucu.
Eca juga cantik, putih, dan suaranya serek-serek basah gitu. Sejak peristiwa
traktiran pentol itu, aku semakin akrab dengan Eca. Selain itu, kami juga teman
sebangku, jadi aku lebih sering mengobrol dengan Eca dibanding dengan yang
lainnya. Sesekali aku juga mengobrol dengan teman yang lain, walau hanya
sekedar basa basi atau membahas soal pelajaran. Teman sekelasku ternyata asyik,
mereka juga pandai melucu, ya walalupun sebagian lelucon mereka ada yang tidak
aku mengerti. Dari hari ke hari aku pun mulai mengenal teman-teman sekelasku
dan mulai akrab dengan mereka. Tak terasa sudah sebulan aku tinggal di
Pangkalan Bun. Teman-temanku juga semakin banyak, selain Eca aku juga mulai akrab
dengan Dhea, Deli, dan Nyken. Aku mulai akrab dengan mereka semenjak aku
bercerita bahwa aku seorang penari di Malang. Aku mengikuti sanggar Tari yang
ada di Malang dan mengikuti berbagai macam festival serta lomba. Aku juga
sering tampil di acara-acara formal dan nonformal yang sering diselenggarakan
oleh instansi atau event-event besar di Malang. Penghargaan-penghargaan yang
aku peroleh juga cukup banyak, mulai dari tingkat sekolah hingga tingkat
provinsi. Mendengar aku bisa menari dan prestasi-prestasi yang aku peroleh,
bagaikan mimpi disiang bolong Eca, Deli, Dhea dan Nyken kemudian mengajakku
untuk bergabung ekstrakurikluer tari tradisonal yang mereka geluti. Sontak aku
pun bingung harus menerima atau menolaknya, dalam hatiku aku ingin bisa menari
lagi tapi aku juga bingung, aku tidak bisa menari tarian khas Kalimantan. Dengan
berat hati aku menolak ajakan mereka. Ada sedikit rasa menyesal saat ada
kesempatan di depan mataku tapi tidak aku ambil. Sudahlah mungkin belum
saatnya.
Selama
aku di Pangkalan Bun, akhir pekan selalu kuhabiskan di rumah dan bersih-bersih.
Sebenarnya aku ingin sekali berjalan-jalan tapi saat melihat panasnya di luar
rumah aku enggan untuk berjalan-jalan. Keluar rumah saja kalau tidak disuruh
ibu membeli sesuatu ke warung aku tidak akan keluar rumah. Walaupun sudah
sebulan di Pangkalan Bun aku belum bisa beradaptasi dengan cuaca disini yang
panas sekali menurutku, tidak seperti di Malang saat di siang hari walaupun matahari
lagi terik teriknya udaranya masih sejuk karena Malang diapit oleh beberapa
pegunungan seperti Gunung Kelud dan Gunung Kawi. Malang itu Kota yag keren
sekali, banyak tempat wisata yang sudah terkenal ke seluruh dunia seperti Jatim
park 1,2 ,3 , Museum angkut, Batu Night Spectaculer, Coban Rondo, Batu Flower
Garden dan masih banyak lagi. Malang juga merupakan kota pendidikan dengan banyak
perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang bergengsi seperti salah satunya
Universitas Brawaijaya yang masuk 10 Universitas terbaik di Indonesia. Malang
juga memiliki sumber daya alamnya yang melimpah seperti apel Malang yang sudah
menjadi maskot kota Malang. Aku bangga lahir dan besar di Kota Malang, seakan
Kota Malang merupakan tempat paling bersejarah dalam hidupku dengan semua
tempat indah dan kenangan yang ada. Tapi sekarang, aku harus berada disini di
tempat yang masih asing bagiku. Saat aku teringat Kota Malang ingin rasanya aku
kembali kesana. Sulit rasanya aku harus menerima bahwa aku tinggal di Pangkalan
Bun, kota kecil dengan segala hal yang tidak aku mengerti disini. Ingin rasanya
aku menangis dan kembali ke Malang saja, aku sungguh tidak betah disini, tapi
aku tidak bisa berbuat apa-apa ayahku yang seorang tentara harus dipindah
tugaskan ke Kalimantan, mau tak mau aku, ibu dan, adikku harus ikut bersama
ayah. Hingga akhirnya, dilibur akhir pekan bulan September, Eca dan kawan-kawan
mengajakku jalan berkeliling Pangkalan Bun. Mana mungkin bisa ku tolak, aku
dengan semangat ikut bersama mereka. Minggu pagi aku sudah bersiap-siap dan
menanti Eca untuk menjemputku. Setelah Eca datang kami pun langsung menuju Istana
Kuning, salah satu ikon Kota Pangkalan Bun yang pertama kali aku kunjungi.
Deli, Dhea ,dan Nyken juga sudah ada disana. Hal yang pertama terbelesit di
pikiranku adalah Istana Kuning adalah sebuah istana kerajaan yang bewarna
kuning, tapi itu salah besar. Istana Kuning sama sekali tidak dicat bewarna
kuning, tempat tersebut hanyalah bangunan seperti rumah panggung kayu. Dulunya
bangunan Istana Kuning tidak seperti ini, karena ulah orang yang tidak
bertanggung jawab Istana Kuning terbakar dan kemudian dibangun kembali. Istana
tersebut disebut sebagai Istana Kuning karena warna kuning merupakan warna yang
sakral digunakan oleh Kesultanan Kotawaringin pada zaman dahulu. Aku juga baru
mengetahui bahwa nama Kotawaringin merupakan nama Kesultanan yang ada di
Pangkalan Bun. Ternyata tidak hanya di pulau Jawa saja yang banyak terdapat
kesultanan dan kerajaan, di Pangkalan Bun pun terdapat kesultanan. Setelah
melihat-lihat Istana Kuning yang begitu menakjubkan, di dalam Istana Kuning
juga terdapat benda-benda pusaka, foto-foto dan lukisan-lukisan anggota kesultanan dan sultan-sultan yang pernah memerintah kesultanan Kutaringin.
Dari luar Istana Kuning terdapat pohon kelapa dan pohon beringin yang batangnya
menjadi satu. Aku pun takjub dengan peninggalan budaya yang dimiliki Kesultanan
Kotawaringin, aku pun menjadi tahu bahwa Kesultanan Kotawaringin duluya juga
merupakan kerajaan yang besar. Istana Kuning juga terlihat menakjubkan dengan
letaknya yang berada di atas bukit, sehingga apabila kita berada di Istana
Kuning kita dapat memandang Kota Pangkalan Bun dari atas dan juga sungai Arut.
Benar-benar indah sekali pemandangannya. Di bawah bukit terdapat taman yang
juga tak kalah cantik, taman tersebut disebut dengan Lapangan Tugu Istana
Kuning, karena terdapat tugu lambang Kesultanan Kotawaringin. Puas rasanya saat
aku melihat Kota Pangkalan Bun dari atas bukit ini. Setelah puas melihat-lihat
keindahan Istana Kuning, aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke Istana
Mangkubumi, yang merupakan istana sama seperti Istana Kuning, tetapi bedanya
disini terdapat pemandian yang konon katanya pada zaman dahulu digunakan
sebagai pemandian para putri kerajaan. Selain itu, di Istana Mangkubumi
teradapat perabotan pada zaman kerajaan yang masih asli dan masih terawat.
Setelah puas melihat-lihat isi dari Istana Mangkubumi, aku pun diajak mereka
untuk mengitari sungai Arut dengan menggunakan kelotok atau biasa orang
Pangkalan Bun menyebutnya Getek. Seru juga ternyata mengitari sungai Arut yang
luas sekali, aku juga baru tahu kalau sungai-sungai yang ada di Kalimantan itu
airnya bewarna coklat seperti teh, berbeda sekali dengan sungai yang ada di
Jawa bewarna jernih. Setelah cukup puas berkeliling Kota Pangkalan Bun, aku dan
teman-temanku memutuskan untuk pulang kerumah. Mengingat hari sudah mulai siang
dan hari makin panas, mereka saja yang sudah bertahun-tahun tinggal di
Pangkalan Bun, masih tidak tahan dengan panasnya disini apalagi aku yang baru
sebulan tinggal disini.
Semenjak
hari itu, setiap akhir pekan aku dan teman-temanku menyempatkan diri untuk
berjalan-jalan ke tenpat-tempat ikonic yang ada di Pangkalan Bun mulai dari
Rumah Betang, Pantai Kubu, Tanjung Keluang, Monumen Palagan Sambi, serta Taman
Nasional Tanjung Puting yang sudah mendunia itu. Awalnya aku tidak menyangka
bahwa ada tempat sekeren TNTP di kota kecil ini. Di tempat ini aku mengakui
bahwa Hutan Hujan Tropis Indonesia memang sangat menakjubkan. Di tempat ini
juga pertama kalinya aku melihat spesies primata yang sangat terkenal Orangutan
dari dekat. Sebagai generasi muda kita hendaknya bisa menjaga kelestraian alam
dan mempromosikannya kepada dunia bahwa alam Indonesia itu keren dan tidak akan
kita temukan di negara lain, hanya milik Indonesia dan hanya ada di Indonesia.
Tak
terasa semester satu pun akan segera berakhir. Ibu Nuning guru Muatan Lokal di sekolahku memberikan
tugas akhir kepada kami, yaitu menari. Menari memang bukan persoalan yang sulit
bagiku tapi masalahnya adalah tarian yang diujikan adalah tarian khas dari
Kalimantan. Tarian khas Kalimantan begitu sulit menurutku, gerakannya sangat
rumit dan cepat. Aku tidak yakin bisa menghafalkan semua gerakan dalam waktu
satu bulan, melihatnya saja aku sudah pusing, apalagi melakukannya. Tapi apa
boleh buat, semua siswa mau tidak mau, bisa tidak bisa harus bisa, ini demi nilai
ujian. Setidaknya bisa mendapatkan nilai pas standar sudah bersyukur, daripada
tidak mendapatkan nilai.
Kelompok
pun sudah dibagi, untungnya aku sekelompok dengan Eca dan Deli yang paham betul
soal tari menari, mereka kan anak sanggar. Sore harinya, kami pun langsung
latihan. Kami sudah menjadwalkan setiap hari kamis sampai minggu untuk latihan.
Berkat bantuan dari Eca, kami pun diperbolehkan untuk memakai ruang sanggar,
tapi syaratnya kami harus menyapunya setiap selesai dipakai, gak papa lah daripada
gak ada tempat. Hari pertama latihan aku dan teman-teman yang lain masih agak
kagok dengan gerakan yang diajarkan oleh Eca dan Deli selaku mentor, tapi harus
bisa, ini kerja sama kelompok, semua harus bisa, biar kompak. Awalnya memang
sangat sulit, untungnya Eca dan Deli masih sabar, jadi aku dan teman-teman yang
lain mulai bisa melakukan sedikit demi sedikit gerakannya. Gerakan yang
diajarkan juga tidak terlalu sulit, karena masih bagian pembuka. Walaupun baru
melakukan koreo pembuka saja sudah banyak sekali gerakannya, kami pun
memutuskan untuk pulang dan beristirahat, besok juga harus sekolah lagi.
Begitulah
keseharian kami setiap sore di sekolah, latihan, latihan dan latihan. Gerakan
yang kami pelajari juga semakin sulit, sehingga membuat Eca dan Deli juga
semakin frustasi untuk mengajari kami, mereka mulai emosi dan sering
marah-marah setiap kami latihan. Aku yang melihat sikap mereka, juga merasa
agak kesal, kan maklum kami bukan penari seperti mereka yang bisa dengan cepat
menghafal gerakan, kami butuh proses. Dan akhirnya insiden itupun terjadi
“Sidakam
tuh mosok kek gitu aja gak bisa, munyak aku ngajarin sidakam tuh, udah gak bisa
cengengesan lagi, gak usaham kita tampil
!”
“Oke
! Kita gak usah tampil, gak usah dapat nilai selesai kan, besok dan seterusnya
gak usah aja latihan ! ujarku sambil mengambil tas dan keluar ruangan.
Entah
apa yang aku ucapkan saat itu, semuanya keluar dari mulutku begitu saja. Aku
begitu kesal dengan kelompoku sendiri, Eca dan Deli sudah marah-marah,
teman-temanku yang cowok juga begitu, bukannya serius malah bercanda dan
main-main saja taunya. Ingin rasanya aku menangis, tidak ada gunanya latihan
selama ini, kalau akhirnya kelompok kami tidak kompak dan malah egois.
Sesampainya aku dirumah, dengan mataku yang sembab, langsung masuk ke kamar dan
mengurung diri. Ibu dan Ayah saat itu tidak ada dirumah, sehingga mereka tidak
tahu kekesalan yang aku alami. Ingin rasanya aku berteriak dan memohon kepada
ayah untuk bisa kembali ke Malang, bertemu dengan teman-temanku disana dan
menceritakan semuanya, aku benar-benar tidak betah disini.
Esok
harinya sehari setelah insiden itu, benar dugaanku aku, Deli dan Eca sama
sekali tidak bertegur sapa, jangankan bertegur sapa, menoleh satu sama lain
saja tidak. Jujur, aku masih kesal dengan mereka, akhirnya aku tahu sifat
mereka, mereka sangat sok sekali, mentang-mentang mereka penari dan terkenal
seantero sekolah. Selama jam pelajaran aku dan Eca tidak berbicara sepatah kata
pun, Eca juga lebih sering mengobrol dengan Hafiz yang ada di depan bangku
kami. Sampai jam pelajaran selesai, situasi pun tetep sama, dengan kesal aku
pun langsung bangkit dari tempat duduk dan langsung pergi meninggalkan Eca.
“Fi,
buku kam ketinggalan di laci” ujar Eca membuat aku kaget dan langsung balik ke
bangkuku.
“
Makasih” jawabku dengan jutek
“
Ntar sore, ikut gak latihan, masih marah kah sama aku, maaf lah” ujar Eca
sambil melirik
Aku
terkejut, mendengar Eca meminta maaf padaku. Aku mungkin terlalu dini
menyimpulkan sikap mereka, sebenarnya mereka sama sekali tidak ada niatan untuk
bermusuhan denganku, mereka memang marah saat itu, tapi bukan berarti mereka
tidak mau mengajari kami, mereka hanya menganggap kejadian itu hanya angin
lalu, dan tidak perli dipermasalahkan.
Akhirnya
kami pun kembali berlatih, capek memang, kurang dari seminngu kami akan tampil
di depan Ibu Nuning untuk pengambilan nilai ujian akhir. Demi nilai yang
memuaskan kami harus kerja sama dan
tetap kompak. Sampai pada hari H, seluruh siswa di kelasku sibuk mengganti
kostum dan dandan seadanya agar bisa tampil maksimal di depan Ibu. Aku pun
mulai deg degan karena ini pertama kalinya aku menari setelah sekian lama aku
tidak menari, tarian yang aku lakukan juga bukan tarian Jawa melainkan tarian
khas Kalimantan yang baru sebulan aku pelajari. Entah apapun hasilnya
mudah-mudahan yang terbaik untuk kelompok kami. Setelah kelompok satu tampil,
ternyata undian berikutnya kelompok aku yang tampil. Aku pun menarik nafas dan
tidak lupa kami pun berdoa, agar penampilan kami diberi kelancaran. Saat kami
berada di depan Ibu dan teman-teman sekelasku entah mengapa aku merasa ada
kepercayaan diri yang besar sedang mendorongku. Ingin rasanya aku bilang kepada
teman-temanku di Malang bahwa sekarang aku bisa menari lagi, tarian khas
Kalimantan yang belum pernah aku coba sebelumnya. Saat musik dimainkan, aku
semakin percaya diri dan bersemangat, Eca dan Deli untuk tersenyum ke arahku
untuk memberiku semangat, begitu juga
dengan teman-temanku yang cowok, mereka semangat sekali teriak-teriaknya. Semua
gerakan yang aku hafalkan aku lakukan dengan mulus tanpa salah sedikitpun. Dari
kepala hingga kaki seakan bekerja sama membantuku untuk menciptakan gerakan
yang indah hingga akhirnya tak terasa musik pun berakhir dan kami pun menutupnya
dengan gerakn penutup yang sempurna. Aku sangat senang sekali saat Ibu dan
seluruh teman-teman sekelasku bertepuk tangan untuk kami. Padahal kami hanya
tampil di aula dan ditonton dengan teman sendiri, tetapi aku merasa seperti
tampil di balai kota Malang dan ditonton oleh ribuan orang. Senang sekali
rasanya, tarian kami berjalan dengan lancar dan sukses. Setelah semua kelompok
tampil Ibu Nuning pun langsung mengumumkan kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi
dan ternyata kelompokku yang mendapatkannya, aku sangat bahagia sekali dan satu
lagi yang membuat kebahagiaanku bertambah berkali-kali lipat yaitu
“Lutfi,
kamu masuk sanggar ya, kalo ditanya, disuruh Bu Nuning gitu “
Aku
seakan tidak percaya apa yang dikatakan Bu Nuning barusan, seperti mimpi
rasanya, mendapatkan kesempatan untuk bisa menari lagi. Bayangkan saja, semua
siswa yang ingin ikut dalam sanggar
sekolah harus diseleksi ketat dan benar-benar harus bisa menari. Sedangkan aku,
aku dengan mudah masuk sanggar dan langsung direkrut oleh koordinatornya
langsung. Suara hatiku berkali-kali mengucap
untuk ambil ambil kesempatan itu Lutfi, ambil.
“
Kamu mau lok, awas kalo gak mau “ ujar Bu Nuning seakan mengunci untuk tak
menolak tawarannya.
Tanpa
pikir panjang aku langsung mengiyakan tawarannya dan beragbung dengan sanggar
tari sekolahku. Aku tidak tahu bagaimana aku harus berterimakasih kepada Eca
dan Deli yang telah mengajariku selama ini. Aku hanya bisa memeluk mereka
dengan erat karena telah memberiku kesempatan untuk kembali mengasah bakatku. Aku berjanji akan
berlatih dan berusaha untuk bisa membawa sanggar sekolahku untuk juara dan
tampil di event-event besar. Setelah ujian semester, aku langsung sibuk
berlatih di sanggar, Eca dan Deli juga sibuk mempersiapkan para junior yang
akan ikut serta dalam lomba tingkat sekolah yang sebentar lagi akan kami ikuti.
Seperti saat aku di Malang, aku pun berlatih dan berusaha untuk memberikan yang
terbaik bagi timku agar bisa tampil maksimal diajang manapun. Gerakan demi
gerakan aku pelajari, selain itu nilai-nilai filosofis serta pesan-pesan yang
tersirat dalam setiap gerakan yang aku lakukan juga aku pahami. Aku juga baru
tahu bahwa tarian khas Kalimantan juga memiliki nilai filosofis yang mendalam
serta sarat akan ekstetika. Terlebih pesan-pesan yang ada dalam tarian juga
penuh makna seperti gotong royong, perjuangan, dan kisah-kisah teladan. Kali
ini aku sangat bangga dengan budaya yang ada di Kalimantan, aku juga bangga
bisa terlibat dalam pelestarian budaya Kalimantan, khususnya tarian daerah. Usaha
dan kerja keras kami pun akhirnya membuahkan hasil, kami berhasil keluar
sebagai juara satu lomba tari tradisional tingkat sekolah. Semenjak event
pertamaku bersama sanggar tari disekolahku, aku dan anak-anak sanggar lainnya
sering tampil dalam event-event besar di Pangkalan Bun, dan daerah-daerah
lainnya, kami juga sering menjuarai lomba baik di tingkat kabupaten maupun
provinsi. Sekali lagi aku bangga menjadi warga Kalimantan, pulau dengan beragam
budaya dan bahasa yang hidup damai dengan kekayaan alamnya yang eksotis.